Potret pemuda ideal dalam sejarah NU tidak
dapat tidak harus menyebut KH Abdul Wahid Hasyim. Salah seorang pejuang
kemerdekaan Indonesia yang lahir dan dibesarkan di lingkungan pesantren. Rumusan
“ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan sumbangsih usulan yang sangat dikenal dan
dikenang sampai saat ini. oleh karena itulah ia dikenal sebagai tokoh yang
inklusif, subtantif, dan moderat.Perannya dalam berbagai sektor perjuangan ia
lakukan di usianya yang relatif masih muda.
Sepermpat abad dari umurnya ia bergabung dengan sebuah federasi
organisasi massa dan partai Islam saat itu yang dikenal dengan Majelis Islam A’la
Indonesia (MIAI).. Tidak begitu saja seseorang diangkat untuk menjadi ketua
kalau tidak memiliki sebuah sumbangsing perubahan dan pergerakan luar biasa di
tubuh organisasi. Umur 26 tahun atau satu tahun setelah menjadi anggota, ia
diangkat menjadi Ketua MIAI. Yang lebih membuat kagum lagi adalah keikutsertaannya
menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) hingga Menteri
Agama pada usia yang relatif masih muda, 31 tahun. Di usianya yang ke 32 tahun
ia ditunjuk sebagi ketua PBNU. Pada tahun 1951 muktamar NU di Palembang
diadakan dan ia terpilih sebagai Ketua Umum PBNU dengan Rais Aam KH. A. Wahab
Hasbullah. Perpaduan antara Kiai anom dan Kiai sepuh.
Komposisi anom dan sepuh tidak bisa dilepaskan
dalam berbagai struktur organisasi di tubuh NU. Para sepuh dengan kebijaksanaan,
khawrisma, dan kewibawaannya disokong dengan kreatifitas, inovasi dan semangat
juang kaum anom menjadi struktur ideal untuk “melangit” dan “membumi” dengan memastikan
keberlangsungan jenjang kepemimpinan yang kontinyu dan berkesinambungan.
Kesuksesan kolaborasi kepemimpinan anom dan
sepuh tertulis dalam sejarah Islam dengan menyebutkan salah satu contohnya
adalah Umar bin Abdul Aziz. Seorang khalifah yang menurut sebagian peneliti muslim
disebut sebagai khamisul khulafa atau khalifah ke lima setelah khulafah
ar-rasyidin yang diangkat menjadi pemimipn kedelapan dinasti Ummyyah saat usianya
kurang dari 40 tahun. Meski begitu, ada “kesepuhan” yang ia jadikan sebagai
tempat untuk meminta saran dan masukan dalam berbagai hal di masa
kepemimpinannya seperti Saalib bin Abdullah, Muihammad bin Ka’ab al-Qurthubi,
Raja’ ibn Haywa ibn Khnzal al-Kindi. Bahkan tatkala ia memimpin
kekhalifahannya, ia mempersilahkan para ulama dan cendekiawan untuk hadir di temapatnya
dan meminta mereka untuk memberikan nasihat dan mengoreksinya. Bahkan ia pernah
mengatakan kepada Amr bin Muhajir “jika Anda melihatku telah berpaling dari kebenaran,
maka simpanlah tanganmu dalam jubahku dan guncangkanlah tubuhku, lalu
katakannya “Wahai Umar, apa yang kamu lakukan”. Hal itu untuk mengingatkannya
untuk tetap tegak lurus membela dan memperjuangkan kepentingan dan kemaslahatan
ummat.
Maka dengan terpilihnya pemimpin baru di MWC
NU Cibeureum bisa dijadikan sebagai bagian dari kolaborasi kebijaksanaan sepuh
dan semangat pemuda. Saya pernah menulis di facebook tentang kolabrosi yang tak
bisa dipisahkan dari keduanya:
حماسة الشباب وحكمة
الشيوخ
"Semangat menggelora pemuda dan kebijaksanaan orang tua"
Semangat menggelora
pemuda merupakan sebuah kekuatan yg harus dibarengi keberanian. Jika tidak, ia hanya akan terpenjara
oleh seribu diam. Terpaku membisu dalam tempurung cita dan asa tanpa ada
gerakan nyata. Semangat dg keberanian saja tak cukup. Ia bukan jalan yg lurus
tanpa hambatan dan rintangan. Dibutuhkan kebijaksanaan orang tua untuk
menguatkan. Kebijaksanaan lahir dari tempaan kehidupan yg
terintegrasi dari campuran pikiran, perasaan dan tingkah laku. Sehingga muncul
keharmonisan antara individu dengan lingkungan. Ia pandai memutuskan suatu dg
tinjauan berbagai sudut pandang.
Selamat untuk Kiai
Mufti terpilih sebagai Ketua MWC NU Cibeureum periode 2022-2027 semoga dapat
memberikan perubahan yang berarti bagi ummat, khususnya di wilayah Cibeureum dan umumnya untuk semua lapisan masyarakat dimanapun berada.
0 Komentar