Sumber gambar: ar.wikipedia.org/wiki/أحمد_بن_حنبل
Imam Abu
Hanifah memiliki nama aseli Nu’man bin Tsabit bin Marzuban yang memiliki
keterkaitan dengan keluarga yang mulia di tengah-tengah kaumnya. Ia berasal
dari Kabul (Ibu kota negara Afganistan saat ini). Ia dilahirkan di daerah
Kuffah pada tahun 80 H/699 M menurut pendapat yang unggul. Ia tumbuh kembang di
tengah keluarga muslim yang baik, kaya, serta mulia. Ia adalah anak tunggal dari ibu dan bapaknya. Ia
memiliki ayah yang bekerja menjual pakaian-pakaian di toko miliknya yang berada
di Kufah dan suatu saat nanti, ia yang akan menggantikan posisi ayahnya
tersebut.
Saat masih muda, gelora semangat menuntut ilmu
agama dari keteguhan hatinya dan semnangat jiwanya. Hal ini dibuktikan dengan
lancarnya ia dalam menghafal Al-Quran ketika masihn kecil. Perilakunya seperti
rekan-rekannya yang cerdas dan shaleh. Ketika ia sampai pada umur 16 tahun,
ayahnya membawa ia untuk pergi haji dan berziarah ke Nabi Muhammad SAW.
Dari beberapa ilmu yang ia kuasai, Ilmu Ushul
ad-Din menjadi ilmu yang pertama. Sebagai benteng untuk mematahkan hujjah orang-orang
atheis dan sesat. Dalam pengembaraannya, ia memasuki kota Basrah lebih dari
pada 27 kali. Karena memang saat itu, Bashrah menjadi pusat aktivitas keilmuan
dunia Islam. Keteguhannya dalam memegang tauhid membuat ia sering mematahkan
argumentasi dan berdebat dengan orang-orang yang menolak syariat. Seperti ketika mendebat dan membuat Jahm
bin Shafwan seorang pentolan aliran Jahmiyyah tidak berkutik. Atau mendebat penganut ateis sampai kembali kepada jalan
kebenaran. Juga mendebat pentolan dan penganut faham mu’tazilah dan khawarij
dengan hujjah-hujjah yang menancap pada akal pikiran mereka. Serta
mematahkan segala argumen yang diyakini ekstrimis syia’ah.
Dua puluh tahun berlalu dengan segala keluasan
ilmu dan kekayaan pengetahuan dalam ilmu kalam dan ushul din sehingga ia
menjagi bagian ulama yang diberikan tempat untuk memberikan ilmu di masjid
Kuffah kepada para pelajar yang menggali ilmu-ilmu tersebut. Tak cukup
menguasai dua ilmu tersebut, Imam Abu Hanifah menempa diri untuk mempelajari
Ilmu fiqh. Ia mengambil ilmu tersebut kepada seorang guru yang bernama Hammad
bin Abi Sulaiman. Keteguhan dan kesungguhan Imam Abu Hanifah membuat kagum
gurunya tersebut. Sampai-sampai gurunya memuji kedekatan yang terjadi di antara
keduanya. Gurunya mengatakan:
لا يجلس في صدر الحلقة بحذائي غير أبي حنيفة
“tidak
boleh ada yang duduk di dekat sepatuku kecuali Abu Hanifah”
Bukan hanya
kecerdasan dalam perkara ilmu-ilmu keislaman belaka, ia juga dikenal sebagai
pribadi yang zuhud dan wira’I (apik:sunda). Tentang kewiraiannya tersebut,
Imam Ibnu Mubarak pernah mengatakan kepada Sufyan Ats-sauri bahwa:
ما أبعد أبا حنيفة عن الغيبة، ما سمعتُه يغتاب
عدوًّا له. قال: والله هو أعقل من أن يُسلِّط على حسناته ما يذهب بها.
“betapa
jauhnya seorang Abu Hanifah dari menggunjing orang lain. Bahkan aku tidak
pernah mendengar ia menggunjing walaupun kepada musuhnya. Sufyan Ats-Tsauri
mengatakan: demi Allah, dia adalah orang yang paling bijaksana dengan tidak mau
kebaikannya hilang sebab menggunjing orang lain ”
Adapun
cerita tentang kezuhudannya, Imam Abi Hanifah pernah mengatakan bahwa ia shalat
shubuh dengan wudhu isya yang ia lakukan selama 4 tahun dan mengkhatamkan
al-Qur’an di tempat ia meninggal sebanyak 7000 kali. Saking menikmati apa yang
ia baca, pernah saat ia membaca surah Al-Zalzalah, surah yang menceritakan
tentang kegoncangan bumi yang sangat hebat pada hari kiamat dan manusia
kebingungan saat hal itu terjadi, nampak kulitnya dan hatinya bergetar sambil
memegang janaggutnya dan berkata:
يا من يجزي بمثقال ذرة خيرا خيرا، يا من يجزي بمثقال ذرة
شرا شرا، أجر عبدك النعمان من النار، وباعد بينه وبين ما يقربه منها، وأدخله في
واسع رحمتك يا أرحم الراحمين
“wahai
yang membalas kebaikan sebiji zarah kebaikan dengan kebaikan. Wahai yang
membalas sebiji zarrah kejelekan dengan kejelekan, Selamatkanlah hamba-Mu,
Nu’man (Abu Hanifah) dari neraka. Dan jauhkanlah antara dirinya dengan sesuatu
yang mendekatkan kepadanya. Dan masukkanlah ia kedalam luasnya kasih sayangmu
wahai dzat yang Maha penyayang dari para penyayang” (Shuwar min Hayaati
At-Ta’biin:24-28).
Abdullah bin
Al-Imam Ahmad, putra dari Imam Ahmad mengatakan bahwa ayahnya shalat dalam sehari
semalam sebanyak 300 rakaat. Bahkan, ketika tubuhnya terkulai karena sakit
sehingga kebiasaan tersebut dilaksanakan tidak seperti biasanya, ia mampu melaksanakan
shalat 150 rakaat. Ketika usianya hampir 80 tahun, dalam sehari Imam Ahmad
mampu mengkhatamkan al-Qur’an setiap 7 hari sekali. Waktu tidurnya hanya
sedikit dan setelah bangun ia habiskan untuk melaksanakan shalat dan berdoa (hilyatul
auliya,9/181).
Kemudian Abdullah
menyatakan bahwa ia mendengar ayahnya pada waktu pagi hari berdoa untuk
orang-orang dengan nama mereka. Imam Ahmad melakukan puasa pada hari senin dan
kamis, serta ayyamul bidh. Hal tersebut ia lakukan sampai ia meninggal
dunia (siyar ‘alam an-nubala, 11/223).
0 Komentar