Sumber gambar:Sandra Cunningham/Shutterstock.com
Diceritakan dalam kitab Anîs al-Mukminîn
bahwa seorang wanita dari Kota Madinah meninggal dunia. Datanglah perempuan
yang biasanya memandikan jenazah untuk memandikannya. Ketika jenazah perempuan
tersebut diletakan di atas tempat yang disediakan, perempuan yang memandikan jenazah mengguyurnya badan jenazah tersebut dengan air. Sambil mengguyur, ia
berkata tidak baik terhadap jenazah tersebut. Ia berkata “betapa banyak perzinaan
yang dilakukan oleh kelamin ini”. Tiba-tiba tangan yang memandikan menempel di
jasad jenazah sampai-sampai tidak bisa dia tidak mampu untuk menggerakkannya.
Kemudian, dia mengunci pintu tempat dimana jenazah dimandikan supaya tidak
dilihat oleh siapapun. Sedangkan tangannya masih terus menempel.
Keluarga jenazah menunggu di luar ruangan agar jenazah dapat dikafani. Mereka bertanya kepada perempuan di dalam ruangan “apakah
kami harus mengirimkan kafan?” tanya salah satu diantara keluarga jenazah.
Perempuan tersebut menjawab “tenang” sampai pertanyaan yang sama diulang terus
menerus. Akhirnya salah satu perempuan dari keluarga jenazah masuk ke dalam
ruangan dan melihat apa yang terjadi. Mengerti tentanag kondisi tersebut,
akhirnya mereka meminta pendapat ulama tentang apa yang harus dilakukan
terhadap jenazah dan perempuan yang memandikannya.
Salah satu ulama berkata “kita potong saja
tangan perempuan tersebut supaya jenazah dapat dikuburkan. Karena menguburkan
jenazah adalah keharusan”. Ulama lainnya berkata “atau kita potong saja sedikit
dari bagian tubuh jenazah tersebut. supaya bisa membebaskan dan menyelamatkan
perempuan itu. Bukankan keselamatan orang yang hidup lebih didahulukan dari
pada orang yang sudah meninggal?”. Akhirnya terjadilah perdebatan diantara
mereka. Hal ini disebabkan apa yang perempuan sang pemandi jenazah katakan.
Kecil tapi berdampak besar. Mengenai perkataan orang yang menuduh orang lain
zina, Rasulullah SAW bersabda:
قَذْفُ
مُحْصَنَةٍ يَهْدِمُ عَمَلَ مِئَةِ سَنَةٍ (رواه البزار والطبراني)
Adapun ulama kota Madinah mereka berdiam diri
dalam keadaan bingung dengan apa yang harus dilakukan, apakah mereka harus
memotong tangan perempuan pemandi jenazah atau memotong sebagian dari tubuh
jenazah tersebut? Akhirnya, mereka menyuruh untuk bertanya kepada Imam Malik
bin Anas r.a. dan mereka berkata “bagaimana kita bisa berdebat tentang hal ini
sedangkan masih ada Imam Malik. Kemudian mereka pergi ke Imam Malik dan
bertanya tindakan apa yang harus mereka lakukan. Setelah mendengar hal
tersebut, Imam Malik memutuskan untuk datang melihat apa yang terjadi dengan
posisi antara dirinya dengan pemandi jenazah terhalang pintu. Imam Malik
bertanya kepada perempuan tersebut “apa yang kau katakan terhadap jenazah?”
perempuan tersebut menjawab:”Wahai Imam, aku telah menuduhnya berzina”. Imam
Malik berkata ”Masuklah beberapa perempuan untuk melihat perempuan tersebut dan
cambuklah ia sebanyak 80 kali karena berdasarkan fiman Allah SWT:
وَالَّذِيْنَ
يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِاَرْبَعَةِ شُهَدَاۤءَ
فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمٰنِيْنَ جَلْدَةً وَّلَا تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً
اَبَدًاۚ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ ۙ
Artinya:” Orang-orang yang menuduh (berzina terhadap) perempuan yang baik-baik dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (para penuduh
itu) delapan puluh kali dan janganlah kamu menerima kesaksian mereka untuk
selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik,” (An-Nur, 24:4)
Maka masuklah perempuan yang ditugaskan untuk
mencambuk perempuan pemandi jenazah atas tuduhan yang dilayangkan olehnya
terhadap jenazah tersebut. Setelah pencambukan selesai dilakukan, perempuan
pemandi jenazah mampu mengangkat tangan yang menempel di jenazah. Oleh karena
itulah dikatakan:
لا
يفتى ومالك في (المدينة)
Artinya:”Tidaklah difatwakan (suatu
hukum), sedangkan Imam Malik berada di Kota Madinah”
0 Komentar