Merupakan kata kerja (kalimat fi’il)
yang memiliki arti memberi. Kata tersebut merupakan diantara fi’il yang me-nashab-kan
dua objek (maf’ul bih). Dua objek tersebut bukan berasal dari mubtada
dan khabar. Tetapi diantaranya memiliki posisi sebagai fa’il dalam makna (fail fi al-ma’na). Seperti contoh أعطيت الفقير مالا maka posisi الفقير sebagai maf’ul bih pertama dan مالا sebagai maf’ul bih kedua. Karena keduanya maf’ul bih maka
harus di-nashab-kan dengan ciri nashab-nya menggunakan fathah.
Karena keduanya termasuk maf’ul bih dari أعطى maka tidak bisa dijadikan
sebagai mubtada dan khabar. Seperti dijadikan kalimat: الفقير مال. Berikut tarkib dari contoh yang
telah disebutkan:
أعطيت الفقير مالا
أعطيت : فعل ماض مبني على السكون
والتاء ضمير متصل مبني على الضم في محل الرفع فاعل
الفقير :مفعول به أول منصوب وعلامة
نصبه الفتحة الظاهرة في آخره لأنه إسم المفرد
مالا : مفعول به ثان منصوب وعلامة
نصبه الفتحة الظاهرة في آخره لأنه إسم المفرد
Mendahulukan dua maf’ul atas yang lainnya
dilakukan kepada maf’ul yuang memiliki kedudukan sebagai fail dalam
makna (fa’il fi al-ma’na), seperti contoh أعطيت الطالب الكتاب yang kedudukan الطالب sebagai fail dalam
makna. Maka kata tersebut harus didahulukan sebab dia yang mengambil buku yang
diberikan. Sedangkan الكتاب
harus diakhirkan sebagai sesuatu yang dibawa oleh الطالب. Akan tetapi, ketentuan tersebut bisa berubah. Artinya, fa’il
dalam makna bisa didahulukan atau diakhirkan jika tidak ditemukan dalam
pendahulaun atau pengakhiran kekacauan makna, seperti kalimat tersebut menjadi:
أعطيت الطالب الكتاب
atau أعطيت الكتاب
الطالب
Wajib mendahulukan fai’il dalam
makna, jika terdapat kejadian atau posisi seperti berikut ini:
1. Kemungkinan
terjadinya kekeliruan, seperti contoh: أعطيت عمرا زيدا. Maka dalam posisi tersebut, yang wajib didahulukan adalah fail
dalam makna yang artinya orang yang mengambil sesuatu yang diberi tersebut.
Maka tidak diperbolehkan mendahulukan yang lainnya. Karena baik Umar (عمرا)
ataupun zaid (زيد)
pantas menjadi orang yang mengambil atau yang diambil.
2. Jika fa’il dalam
makna berupa dhamir muttashil (ضمير متصل) dan maf’ul bih bih yang
kedua berupa isim dzohir (اسم الظاهر).
Contohnya seperti سأعطيك قلما.
Dalam contoh tersebut wajib mendahulukan maf’ul bih pertama yang berupa dhomir
muttasil dan mengakhirkan maf’ul bih kedua yang berupa isim
dhohir.
3. Ketika maf’ul
bih kedua berupa isim mahshur (yang dibatasi). Seperti contoh
kalimat ماأعطيت السائل إلا طعاما. Hal
tersebut dilakukan untuk memperlihatkan makna al-hasr. Kata السائل sebagai maf’ul bih kedua dan طعاما sebagai maf’ul bih pertama
yang harus diakhirkan karena kata tersebut yang dibatasi.
Namun, dalam konsisi berikut ini fa’il dalam
makna wajib diakhirkan dan mendahulukan isim yang bukan fa’il dalam makna, yaitu ketika:
1. Fa’il dalam makna atau maf’ul bih yang
pertama memuat dhomir yang
kembali kepada maf’ul bih yang
kedua. Maka maf’ul bih yang pertama harus diakhirkan sehingga dhomir tidak
kembali pada isim yang diakhirkan. Seperti contoh
pada kalimat أعطيت القلم باريه.
Maka kata القلم dalam contoh tersebut sebagai maf’ul bih kedua
dan kata باري
sebagai maf’ul bih pertaman yang diakhirkan karena memuat dhomir (kata
kerja) yang kembali kepada maf’ul bih yang kedua.
2. Fa’il dalam makna atau maf’ul bih yang
pertama dibatasi, seperti contoh pada kalimat ماأعطيت القلم إلا طالبا. Kata
القلم sebagai maf’ul bih kedua dan kata طالبا sebagai maf’ul bih pertama yang harus
diakhirkan karena dibatasi (mahshur).
3. Fai’il dalam makna atau maf’ul bih pertama
berupa isim dzohir dan maf’ul
bih kedua berupa dhomir muttashil. Seperti الكتاب أعطيته الطالب. dhomir ghoib (kata kerja untuk orang ketiga) dalam contoh tersebut berkedudukan di-nashab-kan
sebagai maf’ul bih kedua dan الطالب sebagai maf’ul bih pertama
yang harus diakhirkan.
0 Komentar