Ticker

6/recent/ticker-posts

Memahami Bahasa Arab: Kata ‘Atha (أعطى) dan Amalnya

Merupakan kata kerja (kalimat fi’il) yang memiliki arti memberi. Kata tersebut merupakan diantara fi’il yang me-nashab-kan dua objek (maf’ul bih). Dua objek tersebut bukan berasal dari mubtada dan khabar. Tetapi diantaranya memiliki posisi sebagai fa’il  dalam makna (fail fi al-ma’na). Seperti contoh  أعطيت الفقير مالا maka posisi الفقير  sebagai maf’ul bih pertama dan مالا sebagai maf’ul bih kedua. Karena keduanya maf’ul bih maka harus di-nashab-kan dengan ciri nashab-nya menggunakan fathah. Karena keduanya termasuk maf’ul bih dari أعطى  maka tidak bisa dijadikan sebagai mubtada dan khabar. Seperti dijadikan kalimat: الفقير مال. Berikut tarkib dari contoh yang telah disebutkan:

أعطيت الفقير مالا

أعطيت   : فعل ماض مبني على السكون والتاء ضمير متصل مبني على الضم في محل الرفع فاعل

الفقير      :مفعول به أول منصوب وعلامة نصبه الفتحة الظاهرة في آخره لأنه إسم المفرد

مالا       : مفعول به ثان منصوب وعلامة نصبه الفتحة الظاهرة في آخره لأنه إسم المفرد

Mendahulukan dua maf’ul atas yang lainnya dilakukan kepada maf’ul yuang memiliki kedudukan sebagai fail dalam makna (fa’il fi al-ma’na), seperti contoh أعطيت الطالب الكتاب yang kedudukan الطالب  sebagai fail dalam makna. Maka kata tersebut harus didahulukan sebab dia yang mengambil buku yang diberikan. Sedangkan الكتاب harus diakhirkan sebagai sesuatu yang dibawa oleh الطالب. Akan tetapi, ketentuan tersebut bisa berubah. Artinya, fa’il dalam makna bisa didahulukan atau diakhirkan jika tidak ditemukan dalam pendahulaun atau pengakhiran kekacauan makna, seperti kalimat tersebut menjadi:

أعطيت الطالب الكتاب atau أعطيت الكتاب الطالب

Wajib mendahulukan fai’il dalam makna, jika terdapat kejadian atau posisi seperti berikut ini:

1.      Kemungkinan terjadinya kekeliruan, seperti contoh: أعطيت عمرا زيدا. Maka dalam posisi tersebut, yang wajib didahulukan adalah fail dalam makna yang artinya orang yang mengambil sesuatu yang diberi tersebut. Maka tidak diperbolehkan mendahulukan yang lainnya. Karena baik Umar (عمرا) ataupun zaid (زيد) pantas menjadi orang yang mengambil atau yang diambil.

2.      Jika fa’il dalam makna berupa dhamir muttashil (ضمير متصل) dan maf’ul bih  bih yang kedua berupa isim dzohir (اسم الظاهر). Contohnya seperti سأعطيك قلما. Dalam contoh tersebut wajib mendahulukan maf’ul bih pertama yang berupa dhomir muttasil dan mengakhirkan maf’ul bih kedua yang berupa isim dhohir.

3.      Ketika maf’ul bih kedua berupa isim mahshur (yang dibatasi). Seperti contoh kalimat ماأعطيت السائل إلا طعاما. Hal tersebut dilakukan untuk memperlihatkan makna al-hasr. Kata السائل sebagai maf’ul bih kedua dan طعاما  sebagai maf’ul bih pertama yang harus diakhirkan karena kata tersebut yang dibatasi.

Namun, dalam konsisi berikut ini fa’il dalam makna wajib diakhirkan dan mendahulukan isim yang bukan  fa’il dalam makna, yaitu ketika:

1.      Fa’il dalam makna atau maf’ul bih yang pertama memuat dhomir  yang kembali kepada maf’ul bih  yang kedua. Maka maf’ul bih yang pertama harus diakhirkan sehingga dhomir tidak kembali pada isim yang diakhirkan. Seperti contoh pada kalimat أعطيت القلم باريه. Maka kata القلم  dalam contoh tersebut sebagai maf’ul bih kedua dan kata باري sebagai maf’ul bih pertaman yang diakhirkan karena memuat dhomir (kata kerja) yang kembali kepada maf’ul bih  yang kedua.

2.      Fa’il dalam makna atau maf’ul bih yang pertama dibatasi, seperti contoh pada kalimat ماأعطيت القلم إلا طالبا.  Kata القلم sebagai maf’ul bih kedua dan kata طالبا  sebagai maf’ul bih pertama yang harus diakhirkan karena dibatasi (mahshur).

3.      Fai’il dalam makna atau maf’ul bih pertama berupa isim dzohir  dan maf’ul bih kedua berupa dhomir muttashil. Seperti الكتاب أعطيته الطالب. dhomir ghoib (kata kerja untuk orang ketiga)  dalam contoh tersebut berkedudukan di-nashab-kan sebagai maf’ul bih kedua dan الطالب  sebagai maf’ul bih pertama yang harus diakhirkan.

 

 

Posting Komentar

0 Komentar